Kebijakan Kontraproduktif Dibalik Praktik Sosialisasi Moderasi Beragama - Fatshaf Moonlight

Kebijakan Kontraproduktif Dibalik Praktik Sosialisasi Moderasi Beragama

Pengertian kebijakan kontraproduktif dan moderasi beragama, indikasi praktik sosialisasi moderasi beragama berpotensi menjadi kebijakan kontraprodukti
        Moderasi beragama merupakan aspek penting dalam menjaga perdamaian dan harmoni dalam masyarakat heterogen seperti Indonesia, sebab moderasi beragama bertujuan menciptakan terwujudnya kerukunan dan toleransi beragama antar umat beragama di Indonesia, sekaligus salah satu cara menanggulangi radikalisme dan ekstremisme agama yang dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara. Namun, implementasi kebijakan untuk mempromosikan moderasi beragama tidak selalu efektif, bahkan mungkin memiliki efek kontraproduktif.

        Mengapa hal ini menjadi penting untuk dibahas? Sebab setiap kebijakan Pemerintah adalah regulasi dirumuskan untuk dipatuhi (meski terkesan dipaksakan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika kebijakan tersebut tidak direncanakan secara matang, dan tidak disosialisasikan secara tepat, dapat menimbulkan dampak negatif (ekonomi, psikologis, sosioligis) melekat pada rakyat sepanjang negara berdiri, terlebih jika ini menyangkut keyakinan dan kehidupan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia.

        Artikel ini mengeksplorasi kebijakan kontraproduktif terkait praktik sosialisasi moderasi beragama. Pembahasan mencakup pengertian kebijakan kontraproduktif dan moderasi beragama, indikasi praktik sosialisasi moderasi beragama berpotensi menjadi kebijakan kontraproduktif, unsur penting komunikasi yang sering diabaikan dalam praktik sosialisasi moderasi beragama, serta kontroversi hasil praktek sosialisasi moderasi beragama dan konteks informasi di mana para praktisi sosialisasi moderasi beragama harus mampu memberikan penjelasan yang tepat. 

        Secara implisit, artikel ini menguraikan tantangan dalam mempromosikan moderasi beragama dan semoga bisa menginspirasi dalam mengupayakan solusi masalah sosialisasi moderasi beragama.

moderasi beragama

A. Pengertian Kebijakan Kontraproduktif dan Moderasi Beragama

1. Kebijakan Kontraproduktif

Kebijakan kontraproduktif adalah kebijakan yang awalnya dirancang untuk memecahkan masalah tertentu, tetapi pada kenyataannya justru memperburuk atau memperpanjang masalah tersebut, bahkan gagal dalam pencapaian tujuan serta menghasilkan danpak yang tidak diinginkan.

Menurut David L. Weimer dan Aidan R. Vining, kebijakan kontraproduktif adalah "kebijakan yang pada akhirnya merusak atau memperburuk masalah yang sedang dihadapi" [1]. Sedangkan Paul Cairney menyatakan bahwa kebijakan kontraproduktif adalah "kebijakan yang pada akhirnya gagal mencapai tujuan yang ditetapkan, atau bahkan memperburuk masalah yang sedang dihadapi" [2]. Pendapat lain dari R. Kent Weaver, kebijakan kontraproduktif adalah "kebijakan yang pada akhirnya memperburuk masalah yang sedang dihadapi atau menghasilkan dampak yang tidak diinginkan" [3]

2. Moderasi Beragama.

Moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya. Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan. Bukan agama jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi, kezaliman, dan angkara murka. Agama tidak perlu dimoderasi lagi. Namun, cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan.[4] 

Moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi tadi. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat men jalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat.

Baca Juga : Panduan Pengobatan Islami Download Gratis 106 Ebook pdf Terbaik

B. Indikasi Program Moderasi Beragama Berpotensi Menjadi Kebijakan Kontraproduktif

Dalam analisis kebijakan publik, beberapa contoh kebijakan kontraproduktif Pemerintah dapat diuraikan menjadi 3 hal yaitu kebijakan fiskal dan moneter yang tidak tepat, kebijakan yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat, dan kebijakan yang tidak memperhitungkan dampak jangka panjang. Sementara, Muhammad Said Didu menyatakan bahwa kebijakan (publik) akan berhasil baik[5] (mencapai tujuan) jika:
  • Secara hukum: Legal. Kebijakan memiliki dasar hukum yang sah
  • Secara bisnis : Profitable : Kebijakan dapat memberikan keuntungan baik materil maupun inmateril, minimal memberikan manfaat yang luas.
  • Secara sosial : Adil. Kebijakan tersebut adil, baik dalam konsep maupun prakteknya.
  • Secara birokrasi : workable. kebijakan tersebut dapat bekerja dengan baik atau dapat dilaksanakan secara baik oleh manajemen institusi.
  • Secara Politik : Acceptable. Kebijakan dapat diterima oleh masyarakat luas, sebab memberikan muatan kepentingan orang banyak.
  • Secara Ekonomi : minimal tidak merugikan baik secara materi maupun inmateril
Beberapa indikasi program moderasi beragama berpotensi menjadi kebijakan kontraproduktif yaitu :

1. Kebijakan fiskal yang tidak tepat.

Penganggaran secara berlebihan kepada program yang masih belum teruji kebermanfaatannya dibanding program utama lain, tanpa transparansi perumusan kebijakan serta penjelasan agar diterima masyarakat. Misalnya pada tahun 2022, Pemerintah telah menaikkan anggaran proyek moderasi beragama dari Rp400 miliar menjadi Rp3,2 triliun. [6] 

Di lain sisi masih banyak kekurangan pada anggaran tunjangan inpassing guru di Kementrian Agama, setiap tahun jumlahnya sekitar 1,8 triliun.[7] Belum termasuk persoalan kekurangan anggaran program lain di Kementerian Agama yang cukup meresahkan publik termasuk reduksi anggaran pada subsidi dana haji dengan pengelolaan masa tunggu pemberangkatan haji hingga mencapai 10 tahun bagi calon Jemaah haji.

2. Kebijakan Yang Tidak Memperhatikan Kepentingan Rakyat.

Dalam konteks kebijakan publik, perumus kebijakan harus mampu melihat tren yang ada di masyarakat lalu mampu membaca kegelisahan dan aspirasi masyarakat. Para praktisi sosialisasi moderasi beragama seharusnya lebih memfokuskan kebijakan moderasi beragama pada dimensi layanan, daripada memperkuat konsep moderasi beragama yang bersifat "dogmatis-birokratis".

Hal ini karena toleransi, tenggang rasa, serta keharmonisan telah menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia sejak zaman Nusantara berdiri. Rakyat telah memahami konsep "Bhinneka Tunggal Ika" dan kearifan budaya lokal yang menghargai perbedaan telah tertanam selama ratusan tahun. (salah satu bukti teoritis-empiris tesis “Resepsi Masyarakat Terhadap Konsep Moderasi Beragama Perspektif Al-Qur’an[8])

Faktanya, seluruh wilayah di Indonesia telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen dari berbagai suku, agama dan ras, yang artinya secara sosio-kultural mereka telah mampu hidup berdampingan tanpa masalah agama yang signifikan. Namun, masalah dapat muncul apabila isu agama dipolitisasi, dan dalam hal ini praktisi sosialisasi moderasi beragama memiliki tanggung jawab untuk meminimalkan potensi kerawanan sosiologis dan antropologis yang dapat berujung pada politisasi isu agama.

Sebaiknya pemerintah, terutama Kementerian Agama, memfokuskan sosialisasi moderasi beragama pada layanan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan perbedaan agama, keyakinan, dan kebudayaan, dengan cara yang adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip konstitusional. Prinsip-prinsip moderasi beragama seperti adil, toleransi, dan musyawarah harus dikedepankan dalam pelayanan publik moderasi beragama ini.

Tugas ini bukanlah hal yang mudah, karena Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, harus berperan sebagai mediator dalam menghadapi praktek keyakinan dan kebudayaan yang beragam, bahkan harus berkoordinasi dalam mengatur regulasi antar-Pemda/kementerian/Lembaga terkait dengan kehidupan beragama, dan berkolaborasi dengan penegak hukum jika diperlukan. 

Mekanisme layanan publik moderasi beragama yang efektif harus mampu menyelesaikan masalah baik substansial, aksidental, maupun kausalitas, seperti kasus larangan penggunaan jilbab oleh seorang guru di Bali, kasus guru non-Muslim yang mengajar di Madrasah Aliyah Negeri di Tana Toraja, dan kasus penghinaan tokoh agama di media sosial.

Layanan publik yang memfokuskan pada penyelesaian masalah dengan prinsip moderasi beragama jauh lebih dibutuhkan oleh masyarakat, mengingat dinamika sosial budaya dan komunikasi kekinian. Narasi tentang pentingnya moderasi beragama yang tidak dilengkapi dengan kemampuan pemerintah untuk mengatasi dinamika sosial budaya yang berpotensi mengancam kerukunan dan toleransi beragama tidak akan efektif dan menyebabkan kebijakan moderasi beragama kontraproduktif. Oleh karena itu, penanganan pengaduan masyarakat terkait diskriminasi, penodaan, dan pelecehan terhadap nilai dan ajaran agama harus menjadi prioritas utama yang diselesaikan dengan prinsip moderasi beragama dan konstitusional.

3. Dasar Hukum Implementatif yang Lemah

Pada tataran implementatif, kebijakan publik dibedakan atas dua jenis, berdasarkan pada dasar hukum pelaksanaanya, yaitu dasar hukum langsung dan tidak langsung. Dasar hukum langsung memberikan mandat langsung kepada pihak yang terkait untuk melaksanakan kebijakan tersebut, seperti UU, PP, Peraturan Menteri, Kepres, dan Inpres. Kebijakan publik yang dibuat berdasarkan dasar hukum ini memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat semua pihak yang terlibat. Sementara, dasar hukum tidak langsung tidak memberikan mandat langsung kepada pihak yang terkait, seperti dokumen perencanaan, panduan teknis, dan pedoman pelaksanaan. Kebijakan publik yang dibuat berdasarkan dasar hukum yang tidak langsung bersifat lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada.

Program Moderasi Beragama bukan merupakan kebijakan publik yang didasarkan pada mandat langsung dari aturan dasar, seperti UU, PP, Permen, atau Inpres, melainkan merupakan bagian dari Renstra Kementrian Agama yang merupakan turunan dari RPJMN 2020-2024, di mana batas waktu implementasinya adalah setiap lima tahun sekali. Satu-satunya Peraturan Menteri Agama terkait Moderasi beragama hanya mengikat Pegawai Negeri Sipil di Kementrian Agama yaitu KMA No. 93 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi PNS Kemenag.

Dasar hukum pelaksanaan Moderasi Beragama di luar Kementrian Agama, terutama di lembaga pendidikan seperti madrasah/pesantren dan masyarakat tidak memiliki payung hukum mengikat. Buku “Panduan Implementasi Moderasi Beragama di Madrasah” yang diterbitkan oleh Kementrian Agama pada tahun 2021 juga tidak menyebutkan mengenai dasar hukum implementasi moderasi beragama di madrasah.

Dalam konteks ini, dasar hukum implementatif yang terkesan diadopsi secara ad hoc pada kebijakan Moderasi Beragama adalah penyebab utama kegagalan kebijakan. Kegagalan kebijakan tentu terjadi karena dua hal, yaitu tidak terimplementasikan atau implementasi yang tidak berhasil. Tidak terimplementasikan berarti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, di mana hal ini dapat disebabkan oleh bargaining politik, kurangnya pemahaman terhadap permasalahan, kurangnya koordinasi, dan faktor lainnya. Sementara itu, implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi jika suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun terjadi kondisi eksternal yang tidak menguntungkan, seperti pergantian kekuasaan, perpindahan posisi, dan faktor lainnya[9]

4. Kebijakan Yang Tidak Memperhitungkan Dampak Jangka Panjang

Moderasi beragama dengan dasar hukum kebijakan implementatif yang berjangka pendek selama lima tahun, terhitung dari tahun 2020 hingga 2024, menimbulkan pandangan bahwa proses perumusannya bukan merupakan kebutuhan mendasar dari Kementerian Agama dalam mengelola kehidupan beragama di Indonesia. Sebaliknya, kebijakan ini dipandang sebagai hasil dari desakan politik atau tekanan pihak tertentu, yang berpotensi memicu polemik mengenai aktor dan tujuan di balik kebijakan.

Kejelasan dasar hukum implementatif sangat mempengaruhi diseminasi kebijakan moderasi beragama, karena sosialisasi yang tepat dan efektif diperlukan untuk mempercepat implementasi kebijakan tersebut. Diseminasi yang dilakukan dengan baik merupakan jaminan kelancaran implementasi kebijakan. Terdapat 4 syarat pengelolaan diseminasi kebijakan yang dapat digunakan untuk mengontrol sosialisasi kebijakan moderasi beragama:

(1) Hadirnya respek masyarakat terhadap kemampuan otoritas pemerintah untuk menjelaskan kebutuhan terkait moderasi beragama sehingga secara moral masyarakat mematuhi kebijakan tersebut.
(2) Kesediaan untuk menerima kebijakan. Ketika suatu kebijakan dipandang logis, kesadaran dan kemauan untuk menerima dan melaksanakan kebijakan tercapai.
(3) setiap keyakinan bahwa Kebijakan dikeluarkan secara sah;
(4) Pada awalnya kebijakan tersebut dipandang kontroversial, namun lama kelamaan kebijakan tersebut dianggap wajar.

Empat syarat tersebut memerlukan waktu yang cukup lama karena melibatkan perubahan sikap dan perilaku sosial masyarakat serta mempertimbangkan pengaruh dari berbagai dimensi dan disiplin ilmu. Apakah dalam kurun waktu satu tahun ke depan, pada tahun 2024, indeks pengukuran penguatan moderasi beragama yang menjadi target dalam Road Map moderasi beragama dapat memenuhi keempat syarat tersebut?

5. Ketidakjelasan Kerangka Strategi “Policy Marketing

Policy marketing merupakan sejenis kampanye terhadap kelompok masyarakat tertentu untuk enerima kebijakan yang telah ditetapkan.[10]

Peta Jalan (Roadmap) Tahun 2020-2024 moderasi beragama yang diterbitkan oleh Kementerian Agama pada tahun 2020 tidak secara eksplisit memberikan strategi dan kerangka pengukuran yang jelas terhadap indikator pencapaian sosialisasi moderasi beragama. Roadmap tersebut hanya mencantumkan indeks program penguatan tanpa rincian kriteria masyarakat yang belum, sedang, atau telah menjalankan praktik moderasi beragama, serta tidak menjelaskan kapan dan bagaimana program moderasi beragama berhasil mengurangi radikalisme. Kurang mengukur pada tingkatan mana, masyarakat berada di jalur yang tepat dalam pelaksanaan praktik moderasi beragama. Hal ini perlu diperhatikan oleh praktisi sosialisasi moderasi beragama dalam mengembangkan rencana dan strategi sosialisasi moderasi beragama yang lebih efektif dan terukur.

Kesulitan dalam merencanakan kerangka strategi "policy marketing" terkait dengan dasar hukum implementatif yang lemah pada point 4, di mana dasar hukum implementatif langsung dari moderasi beragama hanya mengikat pegawai negeri sipil Kementerian Agama dan masih terlalu prematur diterapkan secara luas.

Oleh karena itu, diperlukan kerangka strategi "policy marketing" yang jelas dan terukur, minimal dengan menggunakan strategi marketing mix 4Ps atau 7Ps (product, price, promotion, place, people, physical evidence, process, dan stakeholders) yang didukung oleh strategi evaluasi kebijakan. Hal ini perlu diperhatikan oleh praktisi sosialisasi moderasi beragams untuk meningkatkan efektivitas sosialisasi dan implementasi kebijakan moderasi beragama.

Jika moderasi beragama bertujuan untuk mengurangi radikalisasi, maka perlu diperhatikan empat domain radikalisasi seperti yang diidentifikasi oleh Marie Louise Radanielina Hita dan Yany Gregoire (2022, jurnal), yaitu: 
(1) misinformasi, disinformasi, dan konspirasi; 
(2) kekerasan, kebencian, dan terorisme; 
(3) diskriminasi, pengucilan, ketidaksetaraan, dan rasisme; serta
(4) kurangnya kepercayaan pada institusi dan sifat advokasi yang kontroversial[11].

Untuk lebih memahami radikalisasi, pemahaman mengenai irisan domain dan latarbelakang multidsiplinnya dapat digambarkan sebagai berikut :

irisan domain dan latar belakang multidisiplin dalam pencegahan radikalisasi

Gambar : Irisan domain dan latar belakang multidisiplin dalam pencegahan radikalisasi

6. Pengabaian Terhadap Faktor Penting Alasan Penolakan Sosialisasi Moderasi Beragama.

Secara fundamental, tantangan yang dihadapi ketika mensosialisasikan kebijakan moderasi beragama adalah perbedaan pandangan, pemahaman dan interpretasi terhadap agama dan moderasi itu sendiri. Masyarakat yang heterogen dan memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda, dapat menghasilkan perbedaan pendapat dan sudut pandang yang beragam terhadap moderasi beragama, sehingga mensosialisasikan kebijakan moderasi beragama menjadi sebuah tantangan. Kebijakan moderasi beragama dipandang tidak memadai dalam menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat atau tidak konsisten dengan pandangan agama mereka.

Selain hal tersebut di atas, faktor penting lainnya, mengapa kebijakan moderasi beragama masih mendapatkan penolakan :

1. Faktor politik dan kepentingan ekonomi. 

Beberapa kelompok mungkin moderasi beragama sebagai upaya untuk mereduksi pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Misalnya sebagian kelompok memandang moderasi beragama sebagai kebijakan diskriminatif terhadap Muslim. Akibat gencarnya sosialisasi terlalu menyasar kepada kelompok Muslim dan pembiaraan terhadap masifnya penodaan ajaran Islam baik terhadap Al-Quran, dan ulama di media sosial, berdampak terhadap penolakan moderasi beragama. 

Pemerintah dianggap terlalu menggambarkan Islam sebagai agama yang ekstrem, kekerasan, atau tidak toleran, sehingga Pemerintah memerlukan sosialisasi moderasi beragama yang terstruktur dari lembaga pendidikan tradisional (pesantren) hingga lembaga pendidikan formal modern, birokrasi, serta ke masyarakat luas umat muslim. Kebijakan ini dianggap tidak proporsional dibandingkan kepada umat agama lain. 

2. Faktor sosial dan budaya.

Sosial budaya dapat mempengaruhi penolakan terhadap kebijakan moderasi beragama. Anggapan bahwa moderasi beragama tidak sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi budaya oleh sebagian kelompok, bahkan dianggap mengancam identitas dan keberadaan agama mereka. Hal ini sering terjadi di daerah yang menerapkan PERDA sesuai dengan budaya dan kearifan lokal seperti Aceh, Bali, dan Nusa Tenggara. Contohnya adalah larangan berhijab bagi siswa di Bali yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Bali, sehingga terjadi benturan antara ruh moderasi beragama dan budaya lokal.

Ironisnya, terkadang tujuan moderasi beragama untuk memperkuat kerukunan justru dapat menimbulkan konflik, terutama di daerah yang sangat memperhatikan dan menghargai nilai-nilai budaya lokal. Hal ini disebabkan karena penduduk setempat mungkin merasa bahwa moderasi beragama tidak sesuai dengan kearifan lokal dan identitas budaya mereka. Mereka mungkin menolak moderasi beragama yang merujuk pada toleransi, nah, perbedaan penafsiran praktek toleransi, sehingga dianggap bertentangan dengan budaya lokal yang dianut.

Sejauh ini, upaya sosialisasi moderasi beragama belum memberikan produk yang menunjukkan keberhasilan menangani kerawanan sosial budaya yang dihadapi oleh masyarakat karena belum mempertimbangkan faktor-faktor penting yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan, konsep dan narasi kebijakan moderasi beragama masih dipertanyakan esensinya oleh masyarakat, sehingga penerimaan terhadap kebijakan moderasi beragama berpotensi terhambat.

Oleh karena itu, mengabaikan faktor perbedaan pandangan dan interpretasi, politik, ekonomi, serta sosial budaya akan membuat kebijakan moderasi beragama menjadi tidak efektif dan bahkan kontraproduktif. Praktisi sosialisasi moderasi beragama perlu memperhatikan hal ini dalam merumuskan kebijakan dan strategi moderasi beragama yang lebih komprehensif dan efektif.

C. Pentingnya Unsur Komunikasi dalam Praktik Sosialisasi Moderasi Beragama

        Agar sosialisasi moderasi beragama berhasil, perlu memperhatikan beberapa unsur penting. Pertama, konteks sosial, budaya, dan agama masyarakat yang dituju harus dipertimbangkan agar pesan yang disampaikan mudah dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, sosialisasi moderasi beragama harus memiliki tujuan jelas dan spesifik, seperti meningkatkan toleransi antar umat beragama atau mengurangi konflik antar agama. Ketiga, pesan yang disampaikan harus mudah dipahami, jelas, dan tidak memicu konflik. Keempat, metode sosialisasi harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat yang dituju, seperti diskusi, seminar, pelatihan, atau kampanye publik. Kelima, narasumber yang dipilih harus memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang agama dan toleransi antar umat beragama serta bisa berkomunikasi dengan baik. Terakhir, partisipasi aktif dari masyarakat harus dilibatkan agar sosialisasi moderasi beragama dapat lebih efektif dan berhasil dalam meningkatkan pemahaman dan toleransi antar umat beragama.

Catatan penting dalam unsur komunikasi ini yang paling mengusik dan seringkali menjadi sorotan masyarakat adalah unsur konteks dan narasumber.

1. Konteks  

Keragaman sosial budaya dan agama memainkan peran penting dalam kebijakan yang diatur oleh Pemerintah. Sebagai praktisi moderasi beragama, penting untuk memahami peta sosio-kultural dan agama yang telah termaktub pada kebijakan lain, sehingga dapat menyesuaikan dan memilah konteks mana yang relevan. Praktisi sosialisasi moderasi beragama juga harus berperan aktif dalam memahami dan mengatasi tantangan yang muncul dalam konteks yang berbeda. peta sosio-kultural dan agama yang dianalisis berdasarkan regulasi atau kebijakan lain ini juga akan sangat membantu praktisi sosialiasi moderasi beragama dalam melakukan koordinasi dengan berbagai pihak.

2. Narasumber 

Narasumber yang tepat dan kredibel menjadi faktor penting dalam kampanye moderasi beragama karena mereka dapat memberikan informasi yang akurat dan terpercaya tentang nilai-nilai moderasi beragama. 

Sebahagian masyarakat memandang bahwa Menteri Agama sendiri tidak memiliki kredibilitas yang cukup dalam memoderasi kehidupan beragama karena beberapa kontroversi yang terjadi di masa lalu. Namun, hal ini tidak berarti bahwa semua narasumber dari Kementerian Agama tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, Kementrian Agama sudah seharusnya menetapkan narasumber resmi yang kredibel dan merupakan sosok yang dapat diterima oleh semua golongan, kelompok dan agama

Selain itu praktisi sosialisasi moderasi beragama perlu menekankan kepada masyarakat untuk dapat memfilter informasi dan memperhatikan narasumber yang tepat dan kredibel dalam mempelajari nilai-nilai moderasi beragama.

Penting bagi masyarakat untuk mendapatkan klarifikasi dari praktisi sosialisasi moderasi beragama, jika ada beberapa pejabat atau tokoh penting yang memberikan statement atau sikap yang bertentangan dengan nilai moderasi beragama. Sebab publik umumnya hanya memahami bahwa moderasi beragama adalah program Pemerintah sehingga ekpektasinya adalah semua pejabat/tokoh penting sudah memahami nilai nilai moderasi beragama dan sudah seharusnya bersikap jauh lebih moderat daripada rakyat dalam hal tidak memicu pertentangan pendapat, pertikaian atau konflik dalam kehidupan beragama.

D. Kontroversi Hasil dari Praktek Sosialisasi Moderasi Beragama

1. Moderasi Tapi tidak Moderat [12]

Artikel ini menyimpulkan bahwa “salah satu problem utama dari program moderasi beragama adalah ketidak moderatan pada kelompok-kelompok yang mengaku para pengusungnya itu sendiri, yang justru pada prakteknya seperti menunggangi program moderasi beragama untuk kepentingan-kepentingan yang ekstrim. Tidak diketahui apakah itu ekstrim liberal, ekstrim sekuler, ekstrim nasionalis, ekstrim sosialis, dan ekstrim-ekstrim lainnya. Sehingga program moderasi beragama bukan memperluas kemoderatan beragama di tengah masyarakat melainkan berkontribusi menimbulkan masalah baru serta memperkeras dan memperluas jurang ekstrimitas dua pihak”.

2. Dalih Moderasi Beragama Kian Bablas[13]

Artikel "Dalih Moderasi Beragama Kian Bablas" secara implisit menyatakan bahwa kebijakan moderasi beragama merupakan teori konspirasi. Bahwa proyek moderasi beragama yang sedang berkembang di Indonesia sebenarnya berasal dari Barat dan merupakan upaya untuk membendung Islam politik. Dalih yang digunakan untuk membenarkan proyek ini sebenarnya tidak berasal dari ajaran Islam yang sebenarnya, melainkan merupakan istilah yang dibajak dari ajaran Islam untuk menyamakannya dengan moderatisme. 

Penulisnya mengungkapkan bahwa konsep Islam moderat sebenarnya adalah istilah yang dicetuskan oleh Barat dan diterapkan pada masyarakat muslim agar sesuai dengan nilai-nilai Barat seperti HAM dan kebebasan beragama. Proyek moderasi beragama ini merupakan bentuk neoimperialisme yang memanfaatkan orang-orang yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk menjalankannya. 

Artikel ini juga menegaskan bahwa sistem Islam paripurna adalah cara yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan hakiki dengan berbagai corak kehidupan. Oleh karena itu, penulisnya menekankan bahwa penggunaan konsep moderasi beragama harus dikritisi dengan baik dan perlu dikaitkan dengan ajaran Islam yang sebenarnya untuk mencapai kesejahteraan hakiki dengan berbagai corak kehidupan.

3. Moderasi Beragama Adalah Sikap Inferior Penggagasnya[14]

Artikel "Moderasi Agama adalah Sikap yang Rendah dari Para Pendukungnya" mengemukakan bahwa kampanye untuk moderasi agama adalah upaya untuk mencegah Islam menjadi kekuatan nyata dalam memberikan solusi atas semua masalah kemanusiaan.

Penulisnya berpendapat, pernyataan Menteri Agama tentang adaptasi hukum Islam untuk era saat ini adalah bentuk inferior (ketidakmampuan) intelektual di hadapan umat beragama lainnya. Konsep moderasi agama adalah hasil ciptaan Barat yang dirancang untuk menekan gerakan politik dalam Islam. Bahwa penerapan hukum dan yurisprudensi Islam yang benar adalah kunci kebangkitan dan kebaikan masyarakat Muslim. Kodifikasi yurisprudensi Islam dimulai setelah masa sahabat Nabi Muhammad, dan bahwa kodifikasi hadis, tafsir Alquran, dan kodifikasi masalah hukum yang muncul dari pemikiran saja adalah beberapa masalah baru yang muncul. Namun, kodifikasi masalah-masalah ini awalnya ditolak oleh beberapa ulama dan sahabat Nabi.

Sehingga sebuah kekeliruan yang sangat fatal jika dikatakan bahwa fikih klasik adalah produk dari era perang salib. Fikih adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Ia sudah berkembang dan dikodifikasi (ditadwin) jauh sebelum Perang Salib. Topik-topik fikih tersebut termasuk konsep pemerintahan/imamah, jihad dan futuhat, konsep al-dar (darul Islam/hijrah, darul kufr/harb), ghanimah, fai’, jizyah, kharaj, dll. Namun hari ini, topik-topik tersebut belum mendapat tempat. Bahkan dicurigai. Ditambah lagi sikap rendah diri sebagian intelektual muslim telah mengantarkan pada gagasan moderasi beragama yang banyak diarahkan pada Islam. Fikih Islam dianggap sebagai inspirasi lahirnya radikalisme dan ekstrimisme.

4. Wujud Moderasi bablas, Tirani pada Minoritas[15]

Opini dalam artikel ini menyoroti tentang hadirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang larangan mewajibkan murid mengenakan seragam beratribut agama, dan fenomena Guru non muslim mengajar di Madrasah Aliyah Negeri. 

Penulisnya menyatakan bahwa “dunia pendidikan hari ini kian menunjukkan ketidakjelasannya dari arah ataupun visi pendidikan nasional itu sendiri. Sistem sekuler nampak jelas dimana kedudukan agama makin tersingkirkan dalam kehidupan masyarakat bahkan negara. Kondisi ini sangat mengarah pada adanya moderasi antara warga muslim dan nonmuslim. Yang parahnya, moderasi itu sangat mungkin menjadi bablas.”

5. Bahaya Moderasi Beragama Dan Sikap Tenaga Pendidik [16]

Penulisnya menjelaskan bahwa “moderasi beragama telah mengakibatkan hukum Islam diambil sebagian dan diabaikan sebagian, atau diubah sesuai dengan pandangan sekuler. Penulisnya juga mengungkapkan bahwa konsep moderasi beragama yang merupakan program prioritas nasional RPJMN adalah istilah baru yang tidak memiliki akar teologis maupun historis dalam Islam dan justru dianggap sebagai racun yang diekspor dari Barat untuk menyerang kaum muslimin.

Dalam pandangan penulis artikel tersebut, moderasi beragama dianggap bertentangan dengan perintah Allah dalam Al Qur’an agar umat Islam menerapkan Islam secara kaffah. Oleh karena itu, penting bagi para guru dan intelektual untuk menerapkan kritik dan tidak menelan begitu saja ide moderasi beragama.

E. Konteks Wacana Media Sosial, Bahan untuk Para Praktisi Sosialiasi Moderasi Beragama

Pada dasarnya media sosial dapat dijadikan alat yang sangat efektif untuk memperkuat pesan moderasi beragama, namun media sosial juga dapat menjadi tempat yang mudah untuk menyebarluaskan informasi yang salah atau memicu konflik. Oleh karena itu, penting bagi praktisi sosialisasi moderasi bergama untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan hati-hati dalam upaya mempromosikan moderasi beragama. 

Wacana media sosial yang menolak moderasi beragama adalah sebuah fenomena di mana sekelompok orang atau kelompok-kelompok tertentu menggunakan media sosial untuk menentang atau menolak kampanye moderasi agama. Dalam beberapa kasus, wacana ini didorong oleh isu-isu politik atau kepentingan kelompok tertentu yang ingin mempertahankan status quo atau ingin melepaskan tekanan terhadap gerakan politik dalam Islam.

Berikut ini adalah konteks wacana media sosial terkait penolakan sosialisasi moderasi beragama yang harus mampu dijawab oleh para praktisi sosialisasi moderasi beragama bukan dalam bentuk konsep namun dalam bentuk praktek aksi nyata layanan masyarakat :
  1. Moderasi beragama menodai ajaran nilai nilai agama
  2. Moderasi beragama adalah toleransi bablas
  3. Moderasi beragama adalah Islam Nusantara, liberal, pluralism dan sekuler
  4. Moderasi beragama, agenda politik tersembunyi islamophobia.
  5. Moderasi beragama adalah agenda menghancurkan Islam politik
  6. Moderasi beragama adalah konsep konservatif barat, neo imperialisme, sebab toleransi sudah mengakar dalam kepribadian bangsa Indonesia.
  7. Moderasi beragama adalah teori konspirasi barat berdalih hak asasi manusia.
  8. Moderasi beragama, tidak memiliki kemampuan meredam ujaran kebencian dan penodaan terhadap simbol simbol agama.
  9. Moderasi beragama adalah neo imperialisme, pemaksaaan kehendak sekelompok orang atas kelompok lainnya. 
  10. Moderasi beragama adalah alat untuk membungkam para tokoh agama yang kritis terhadap kebijakan negara sebab menggunakan dasar filosofi penyetaraan agama dengan negara. Bagi tokoh agama yang tidak menyetujui konsep negara di atas agama atar agama setara negara, dicap sebagai tokoh agama yang tidak moderat, dan radikal.

Adapun kampanye moderasi beragama yang harus mampu dibuktikan secara empiris bukan sekedar statemen oleh para praktisi sosialisasi beragama terkait hal-hal berikut :

  1. Moderasi beragama dapat memperkuat kerukunan antarumat beragama dan mendorong terciptanya keadilan sosial.
  2. Penerapan moderasi beragama secara efektif mencegah terjadinya konflik keagamaan dan memperkuat stabilitas sosial.
  3. Moderasi beragama membantu mendorong toleransi dan menghargai perbedaan dalam masyarakat multikultural.
  4. Moderasi beragama mengatasi radikalisme dan ekstremisme agama yang dapat membahayakan keamanan nasional.
  5. Moderasi beragama mendorong perkembangan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
  6. Penerapan moderasi beragama yang tepat dapat membantu memperkuat hubungan antara agama dan negara dalam konteks demokrasi.
  7. Moderasi beragama mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dan mengatasi kemiskinan.
  8. Moderasi beragama memperkuat kesejahteraan masyarakat dan mendorong terciptanya perdamaian dunia.
  9. Penerapan moderasi beragama yang tepat dapat membantu menangani masalah sosial yang kompleks, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan narkoba.
  10. Moderasi beragama dapat membantu mendorong kesetaraan gender dan hak asasi manusia yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat.
Demikian eksplorasi kami mengenai Kebijakan Kontraproduktif Dibalik Praktik Sosialisasi Moderasi Beragama semoga dapat menjadi pencerahan buat semua. 

Referensi

[1] Weimer, D.L. & Vining, A.R., 2017, Policy Analysis: Concepts and Practice, Pearson.
[2] Cairney, P., 2016, The Politics of Evidence-Based Policy Making, Palgrave Macmillan UK
[3] Weaver, R.K., 2014, The Politics of Problem Definition: Shaping the Policy Agenda, University of Kansas Press.
[4] Lukman Hakim Saifuddin, 2019, Buku Saku Tanya Jawab Moderasi Beragama, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
[5] Muhammad Said Didu, 2023, https://twitter.com/msaid_didu/status/1518824550238408704
[6] https://ihram.republika.co.id/berita/qzvo84335/anggaran-moderasi-beragama-dari-rp-400-m-jadi-rp-32-t
[7] https://www.mpr.go.id/berita/Demi-Kehidupan-Beragama-Yang-Adil-dan-Moderat,-HNW-Usulkan-Anggaran-Moderasi-Beragama-Juga-Dialokasikan-Untuk-Guru-Inpassing
[8] Rahmah Muharromah Yasin, 2022, Resepsi Masyarakat Terhadap Konsep Moderasi Beragama Perspektif Al-Qur’an (Studi Living Qur’an di Kecamatan Dullah Utara Kota Tual Maluku) , Tesis, Program Pascasarjana Institut Ilmu Al-Quran
[9] http://map.uma.ac.id/2020/10/tantangan-implementasi-kebijakan-publik-zaman-now/
[10] Arifiani Widjayanti, 2011, Marketing Dalam Sektor Publik, Jurnal Ilmu Administrasi, Volume VIII,No. 3, Desember 2011.
[11] Marie Louise Radanielina Hita Yany Gregoire, 2022, “Marketing to Prevent Radicalization: A First Attempt at Delimiting the Field”, https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/07439156221136951
[12] Jeje Zainuddin, https://staipijakarta.ac.id/moderasi-tapi-tidak-moderat/
[13] Dr. Suryani Syahrir, https://www.mediasulsel.com/dalih-moderasi-beragama-kian-bablas
[14] Yuana Ryan Tresna, https://tsaqofah.id/moderasi-beragama-adalah-sikap-inferior-penggagasnya/
[15] Indi Lestari , https://dimensi.id/2021/02/17/wujud-moderasi-bablas-tirani-pada-minoritas/
[16] https://kalimantanpost.com/2022/11/bahaya-moderasi-beragama-dan-sikap-tenaga-pendidik/
A mom of "Triple-A", enthusiastic for sharing knowledge, feeling, and a passion to create in the Dark Side Office

Post a Comment

Silahkan tambahkan komentar sesuai dengan topik, komentar yang disertai link akan dihapus.Terimakasih
Post a Comment
© Fatshaf Moonlight. All rights reserved. Developed by Jago Desain