Fenomena Rangkap Jabatan di Indonesia: Saat Etika Kehilangan Tempat - Fatshaf Moonlight

Fenomena Rangkap Jabatan di Indonesia: Saat Etika Kehilangan Tempat

Rangkap jabatan dalam pusaran KKN, konflik kepentingan, etika dan integritas pemerintahan yang bersih.
Fenomena rangkap jabatan pejabat di Indonesia telah menjadi topik yang sering dibicarakan di masyarakat, khususnya dalam konteks korupsi dan pelayanan publik yang buruk. Rangkap jabatan terjadi ketika seorang pejabat negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN) menjabat lebih dari satu posisi atau jabatan dalam satu atau lebih organisasi secara bersamaan. Meski dualisme bahkan pluralisme jabatan tidak selalu berkaitan dengan KKN, praktik ini menimbulkan potensi konflik kepentingan dan dapat membahayakan integritas pejabat publik, pelanggaran etika, serta dapat mengganggu kinerja dan tanggung jawab utama pejabat tersebut.

Pengertian Rangkap Jabatan

  1. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2005), rangkap jabatan adalah suatu keadaan di mana seorang pegawai atau pejabat memegang lebih dari satu jabatan di dalam satu organisasi atau lembaga.
  2. Menurut Idham Cholid (2013) , rangkap jabatan adalah situasi di mana seseorang yang menjabat di suatu instansi atau organisasi memiliki lebih dari satu jabatan dalam instansi atau organisasi yang sama atau berbeda.
  3. Menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), rangkap jabatan adalah keadaan seorang pejabat atau pegawai yang memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan.
  4. Dalam bahasa Inggris, istilah rangkap jabatan dikenal sebagai "dual position" atau "holding dual positions." Menurut situs hukum online Legal Dictionary (2023) , dual position atau holding dual positions merujuk pada seseorang yang memegang lebih dari satu jabatan atau posisi dalam organisasi yang sama atau berbeda. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang ditunjuk untuk mengisi posisi tambahan atau ketika ada penggabungan posisi dalam rangka efisiensi organisasi.

Jenis-jenis rangkap jabatan antara lain:

  1. Rangkap jabatan horizontal, yaitu rangkap jabatan di dalam satu bidang atau departemen yang sama. Contohnya, seorang guru yang juga menjabat sebagai kepala sekolah dalam sekolah yang sama.
  2. Rangkap jabatan vertikal, yaitu rangkap jabatan di antara beberapa tingkatan jabatan, seperti direktur yang juga menjabat sebagai komisaris dalam perusahaan yang sama.
  3. Rangkap jabatan silang, yaitu rangkap jabatan di antara lembaga atau instansi yang berbeda, seperti seorang dosen yang juga menjabat sebagai anggota DPR.
  4. Rangkap jabatan fungsional, yaitu rangkap jabatan yang berhubungan dengan fungsi atau tugas tertentu dalam suatu organisasi, seperti seorang kepala bagian yang juga menjabat sebagai ketua tim penelitian dalam organisasi yang sama.

    Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rangkap jabatan adalah keadaan di mana seseorang yang menjabat di suatu instansi atau organisasi memiliki lebih dari satu jabatan dalam instansi atau organisasi yang sama atau berbeda. Jenis-jenis rangkap jabatan meliputi rangkap jabatan horizontal, vertikal, silang, dan fungsional. Rangkap jabatan dapat terjadi karena adanya kebutuhan organisasi atau instansi, namun juga dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang jelas dan pengawasan yang ketat terhadap praktik rangkap jabatan agar tidak merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat yang dilayani.

ilustrasi rangkap jabatan

        Seorang pejabat negara atau ASN dapat dianggap melakukan rangkap jabatan jika mereka menjabat dua atau lebih posisi atau jabatan dalam satu atau lebih organisasi secara bersamaan. Hal ini dapat terjadi jika posisi atau jabatan yang diemban saling melengkapi atau berkaitan satu sama lain dan tidak bertentangan dengan etika atau regulasi yang berlaku. Namun demikian, pejabat negara atau ASN yang menjalankan rangkap jabatan harus memastikan bahwa pekerjaan atau jabatan sampingan yang mereka emban tidak mengganggu kinerja dan tanggung jawab utama mereka serta tidak bertentangan dengan etika atau regulasi yang berlaku. Jika pejabat negara atau ASN terbukti melakukan moonlighting atau rangkap jabatan yang melanggar aturan, maka mereka dapat dikenai sanksi atau bahkan dipecat dari jabatan mereka

    Jika seorang pejabat negara menjabat 30 jabatan sekaligus, maka dapat dianggap bahwa pejabat tersebut melakukan rangkap jabatan. Sejumlah jabatan yang banyak tersebut kemungkinan tidak dapat dijalankan secara efektif dan efisien dalam waktu yang bersamaan dan mungkin mengganggu kinerja dan tanggung jawab utama mereka sebagai pejabat negara. 

    Untuk mengatur tugas yang diembannya sesuai dengan jabatan dalam waktu yang bersamaan, seorang pejabat negara yang menjabat beberapa jabatan harus memprioritaskan tugas dan tanggung jawab yang paling penting dan memastikan bahwa pekerjaan mereka dilakukan dengan baik dan sesuai dengan etika dan regulasi yang berlaku.

Etika Yang Hilang 

    Di satu sisi, praktik dualisme jabatan dapat dianggap sebagai bentuk efisiensi dan peningkatan kinerja, terutama dalam situasi di mana sumber daya terbatas. Namun, di sisi lain, praktik ini juga dapat menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan mengabaikan prinsip keadilan dan profesionalisme.

    Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa praktik rangkap jabatan tidak selalu negatif, namun yang menjadi masalah adalah ketika hal ini melanggar etika dan aturan yang ada. Keberadaan etika dan peraturan yang jelas sangat penting untuk mencegah terjadinya tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan potensi konflik kepentingan.

    Sebagai negara demokratis, Indonesia seharusnya menerapkan prinsip-prinsip kebebasan berkarier tanpa diskriminasi dan kesetaraan dalam mendapatkan kesempatan untuk berkarier. Namun, hal ini tidak boleh mengesampingkan aspek etika dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.

    Seharusnya rangkap jabatan tidak menjadi masalah jika dilakukan dengan transparansi dan tetap memperhatikan etika dan prinsip good governance. Namun, realitanya banyak pejabat yang menyalahgunakan rangkap jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu, dan mengabaikan kepentingan publik.

    Kita juga harus memahami bahwa rangkap jabatan bukan hanya masalah hukum atau regulasi, tetapi juga masalah etika dan moralitas. Etika harus menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan seorang pejabat negara. Seorang pejabat negara harus memiliki kesadaran etis yang kuat untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan menjaga integritasnya.

    Sayangnya, dalam beberapa kasus, etika kehilangan tempat dalam praktek rangkap jabatan. Pejabat yang terlibat dalam rangkap jabatan cenderung lebih mementingkan kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu, dan mengabaikan kepentingan publik dan integritasnya sebagai seorang pejabat negara.    

Aturan yang berpotensi dilanggar dalam Praktik Rangkap Jabatan

      Saat ini, sudah ada undang-undang yang mengatur tentang rangkap jabatan baik yang diatur melalui Undang-undang maupun beberapa perundang-undangan lainnya. Namun, penegakan hukum terhadap pelanggaran rangkap jabatan masih belum maksimal. Diperlukan tindakan yang lebih tegas dari pihak yang berwenang untuk mencegah praktik ini dan menegakkan aturan yang ada. Berikut beberapa aturan terkait rangkap jabatan, antara lain:

1. UU No. 28 Tahun 1999

     Undang-Undang  tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ini, melarang praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara. Praktik rangkap jabatan yang melanggar etika dan mengabaikan prinsip akuntabilitas dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi yang bersifat struktural. Selain itu, praktik rangkap jabatan yang tidak sesuai dengan aturan dan prosedur dapat memperburuk kualitas pelayanan publik dan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

2. Kode Etik ASN 

    Kode  etik ASN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 juga melarang ASN melakukan praktek-praktek yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini termasuk rangkap jabatan yang dapat mengganggu kinerja dan tanggung jawab utama ASN atau pejabat negara. ASN juga diwajibkan untuk memprioritaskan tugas dan tanggung jawab utama mereka sebagai ASN atau pejabat negara.

3. UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

    Dalam undang-undang ini diatur bahwa ASN tidak diperbolehkan menjabat lebih dari satu jabatan di lembaga pemerintahan pada waktu yang bersamaan, kecuali terdapat kepentingan organisasi dan mendapat persetujuan dari atasan langsung dan pejabat yang berwenang. Jika seorang ASN atau pejabat negara melakukan rangkap jabatan tanpa persetujuan yang sah, maka dapat dikenakan sanksi administratif atau bahkan dipecat dari jabatan mereka.

4. UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 23.

    Undang Undang ini yang berbunyi seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran      Pendapatan Belanja Daerah.

5. Surat Edaran Menpan RB

    Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Rangkap Jabatan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan Badan Usaha Milik Negara

6. Surat Edaran Kepala BKN Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Rangkap Jabatan ASN pada Instansi Pemerintah

7. PP No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS

     Pasal 136 Ayat (1) mengatur bahwa PNS dilarang merangkap jabatan dalam instansi pemerintah dan/atau BUMN/BUMD atau jabatan di lembaga swadaya masyarakat atau badan usaha swasta, kecuali diizinkan dalam peraturan perundang-undangan

Sanksi untuk Praktik Rangkap Jabatan

    Aturan-aturan di atas menyatakan bahwa praktik rangkap jabatan merupakan pelanggaran yang serius. Pejabat negara atau ASN yang melakukan praktik ini dapat dikenai sanksi administratif, sanksi pidana, atau bahkan diberhentikan dari jabatannya.
    Beberapa sanksi administratif yang dapat dikenakan meliputi penundaan atau penghentian sementara gaji atau tunjangan, penurunan pangkat atau jabatan, atau bahkan pemecatan. Sementara itu, sanksi pidana yang dapat diberikan meliputi penjara atau denda.

Kasus Rangkap Jabatan Terindikasi KKN dan Peluang Konflik Kepentingan

Kasus Terindikasi KKN:

  1. Kasus mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, yang dihukum karena menerima suap terkait proyek pembangunan Pasar Bengkuring yang bersumber dari APBD Kutai Kartanegara. Rita juga terindikasi melakukan praktik KKN dalam rangkaian proyek-proyek lainnya, termasuk proyek jalan dan jembatan. Saat itu, Rita menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara sekaligus sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Kalimantan Timur.
  2. Kasus mantan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian, yang divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena menerima suap terkait proyek-proyek di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Selain itu, Yan Anton Ferdian juga terindikasi melakukan praktik KKN dalam pengadaan barang dan jasa, serta dalam penempatan pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten Banyuasin. Saat itu, Yan Anton Ferdian menjabat sebagai Bupati Banyuasin sekaligus sebagai Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Selatan.
  3. Kasus mantan Bupati Tulang Bawang, Winarti, yang dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta karena menerima suap terkait proyek pembangunan jalan provinsi di Tulang Bawang, Lampung. Winarti juga terindikasi melakukan praktik KKN dalam pengadaan barang dan jasa, serta dalam pengangkatan pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Saat itu, Winarti menjabat sebagai Bupati Tulang Bawang sekaligus sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Lampung.

Kasus Berpeluang konflik kepentingan:

  1. Kasus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, yang ditangkap oleh KPK karena terindikasi menerima suap terkait pengaturan izin ekspor benih lobster. Selain itu, Edhy Prabowo juga terindikasi melakukan konflik kepentingan karena memiliki saham di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perikanan dan pengolahan hasil laut. Saat itu, Edhy Prabowo menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
  2. Kasus mantan Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Hatta Ali, yang diduga memiliki saham di perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan perikanan. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan karena Muhammad Hatta Ali merupakan pimpinan di lingkungan peradilan dan perusahaan yang dimilikinya berpotensi terlibat dalam sengketa hukum
  3. Kasus mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, yang dilaporkan memiliki saham di beberapa perusahaan swasta, termasuk di bidang pertambangan. Suryamin juga diketahui terlibat dalam kegiatan konsultan di perusahaan swasta, meskipun saat itu dia menjabat sebagai Kepala BPS. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan karena BPS merupakan lembaga negara yang bertugas menyediakan data statistik dan informasi bagi pemerintah dan masyarakat.
  4. Kasus mantan Ketua DPR, Setya Novanto, yang terlibat dalam skandal korupsi e-KTP dan dituntut hukuman 16 tahun penjara. Setya Novanto juga diketahui memiliki sejumlah perusahaan, termasuk di bidang energi dan tambang, yang berpotensi terlibat dalam kebijakan publik yang dibuat oleh DPR. Selain itu, Setya Novanto juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada saat itu, sehingga ada dugaan konflik kepentingan dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua DPR.
  5. Kasus mantan Kepala Staf Presiden, Teten Masduki, yang dilaporkan memiliki saham di sejumlah perusahaan swasta, termasuk di bidang energi dan tambang. Teten Masduki juga terlibat dalam kegiatan konsultan di perusahaan swasta, meskipun saat itu dia menjabat sebagai Kepala Staf Presiden. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan karena Kepala Staf Presiden merupakan pejabat negara yang bertugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan kinerja para menteri dan lembaga negara lainnya.

Rangkap Jabatan di Negara Maju

    Aturan rangkap jabatan di luar negeri dapat berbeda-beda tergantung pada negara masing-masing. Namun, secara umum, praktik rangkap jabatan di negara-negara maju diatur dengan sangat ketat dan penerapannya juga lebih tegas daripada di Indonesia. Berikut ini aturan rangkap jabatan di negara maju. 

Amerika Serikat

    Aturan tentang rangkap jabatan diatur oleh Hatch Act, yang melarang seorang pejabat pemerintahan federal untuk merangkap jabatan dalam kegiatan politik dan bisnis, serta melarang penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, kecuali dalam keadaan tertentu yang diatur oleh undang-undang. Selain itu, mereka juga tidak diizinkan untuk menjabat di sektor swasta yang berkaitan dengan bidang tugasnya selama masa jabatannya. Hal lainnya, ada juga aturan tentang konflik kepentingan yang sangat ketat, dan setiap pejabat harus menyampaikan laporan keuangan secara terbuka dan transparan.

Jerman

    Aturan rangkap jabatan diatur sangat ketat dalam Undang-Undang Dasar Negara. Seorang pejabat publik hanya boleh merangkap jabatan tidak diizinkan untuk menjabat di lebih dari satu jabatan publik atau untuk menjabat di posisi publik sambil menjalankan bisnis atau pekerjaan swasta, kecuali jika memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dan mendapat persetujuan dari atasan. Ada pula aturan yang mengatur tentang konflik kepentingan, yang melarang pejabat untuk menerima hadiah atau pemberian lain yang dapat mempengaruhi independensi dan integritasnya. Aturan ini dirancang untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan dan memastikan bahwa para pejabat publik dapat menjalankan tugas mereka dengan integritas dan profesionalisme.

Kanada

    Ada aturan yang disebut sebagai Conflict of Interest and Ethics Commissioner Act, yang mengatur tentang konflik kepentingan dan praktik rangkap jabatan. Seorang pejabat di sana harus melaporkan setiap pekerjaan sampingan dan kepentingan bisnis yang dimilikinya. Jika terdapat potensi konflik kepentingan, maka pejabat tersebut harus mengambil tindakan untuk menghindari atau mengurangi konflik tersebut.

Singapura

    Aturan rangkap jabatan diatur oleh Kementerian Kehakiman dan Biro Pelayanan Awam. Pejabat publik di Singapura dilarang untuk menjabat di lebih dari satu jabatan publik pada waktu yang sama, kecuali dalam keadaan tertentu yang diatur oleh undang-undang. Mereka juga dilarang untuk menjabat di perusahaan swasta atau organisasi nirlaba yang berkaitan dengan bidang tugasnya

    Secara umum, aturan rangkap jabatan di negara-negara maju sangat ketat dan memperhatikan aspek etika dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dibandingkan di Indonesia. Praktik ini dianggap sebagai pelanggaran etika dan dapat mengancam integritas dan profesionalisme para pejabat publik. Oleh karena itu, diperlukan aturan yang jelas dan tegas untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dari contoh-contoh aturan di luar negeri tersebut, tentunya menjadi nilai positif yang dapat dijadikan referensi bagi Indonesia dalam menetapkan dan menerapkan aturan tentang rangkap jabatan dan konflik kepentingan yang lebih baik dan tegas.

Kesimpulan

    Kesimpulannya, praktik rangkap jabatan bukanlah masalah yang sepele. Kita harus berupaya untuk menghindari terjadinya tindakan KKN dan konflik kepentingan yang dapat membahayakan kepentingan publik. Pihak yang berwenang harus meningkatkan penegakan hukum dan mengawasi praktik rangkap jabatan secara ketat. Selain itu, diperlukan edukasi dan sosialisasi etika dan profesionalisme bagi para pejabat publik agar mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara integritas.

   Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktek rangkap jabatan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran etis dan moralitas dalam pengambilan keputusan seorang pejabat negara.

    Dalam jangka panjang, untuk mengurangi praktik rangkap jabatan yang tidak etis, perlu dilakukan reformasi kelembagaan yang lebih besar. Reformasi ini harus meliputi perubahan sistem pengangkatan dan kinerja pejabat negara, peningkatan pengawasan dan transparansi, serta penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelanggaran etika dan hukum.

Referensi :

  1. Mangkunegara, A. P. (2005). Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT Refika Aditama.
  2. Cholid, I. (2013). Ilmu Kepemimpinan: Teori dan Praktik. Jakarta: Prenada Media.
  3. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-4). Jakarta: Balai Pustaka.
  4. Legal Dictionary. (n.d.). Dual Position. Diakses pada 27 Maret 2023, dari ttps://legaldictionary.net/dual-position/
  5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1655.pdf
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
  7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
  8. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Rangkap Jabatan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan Badan Usaha Milik Negara
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS
  10. Ethics and Integrity in Public Administration: Concepts and Cases" karya Raymond W. Cox III dan Lisa M. Lee
  11. Public Administration: An Action Orientation" karya Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt
  12. Comparative Public Administration" karya Ferrel Heady
  13. Managing Public Sector Projects: A Strategic Framework for Success in an Era of Downsized Government" karya David W. Wirick.
  14. https://news.detik.com/berita/d-5157727/daftar-bupati-tersangka-korupsi-di-era-jokowi
  15. https://nasional.kompas.com/read/2021/02/22/06015641/pengamat-kpk-tak-akan-tangkap-edhy-prabowo-kalau-ada-kepentingan-di-balik
  16. https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/12/08/pc0it6341-ma-terus-periksa-aset-harta-hakim-survei-penyebabnya
  17. https://money.kompas.com/read/2019/01/02/064731326/ketua-dpr-diminta-jual-aset-untuk-antisipasi-konflik-kepentingan
  18. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160708093327-20-142179/kpk-periksa-aset-kepala-staf-presiden-teten-masduki
A mom of "Triple-A", enthusiastic for sharing knowledge, feeling, and a passion to create in the Dark Side Office

Post a Comment

Silahkan tambahkan komentar sesuai dengan topik, komentar yang disertai link akan dihapus.Terimakasih
Post a Comment
© Fatshaf Moonlight. All rights reserved. Developed by Jago Desain