Perjumpaan By Handry TM - Fatshaf Moonlight

Perjumpaan By Handry TM

Perjumpaan. E-mail itu dibacanya, hingga dua-tiga kali diulangnya. Gak berubah satu huruf. Segera ia kemasi pakaian dan cabut dari rumah ini

Perjumpaan

perjumpaan

“Arbi?”
“Syane?”
Keduanya terpaku. Masing-masing ragu untuk saling ngulurin tangan. Cowok kurus itu memulai dengan kesan kaku. Toh akhirnya kebekuan itu pun berlalu.
“Pa kabar, Syane?” tanyanya.
“Tiga Paskah ini kita nggak pernah ketemu. Lo baik-baik aja, Bung?”

Cowok kurus itu tersenyum. Kepalanya yang setengah pelontos itu nampak mengkilat. Apalagi kalo pas geleng-geleng kecil seperti ini.

“Sejak kapan kau panggil aku Bung?”
“Oh!”
“Tapi aku seneng, kok. Panggilan itu jadi mesra banget. Terusin deh, bukankah kita mulai beranjak dewasa?”
“Kayak udah nggak pantes deh sekadar panggil nama. Mesti ada sebutan yang bermartabat.”
“Ketakutan kamu persis seperti yang kupikir.”
“Apa, Bung Arbi?”
“Dikira …”
“Dikira apa?” tanya Syane penasaran.
“Dikiran hubungan kita deket banget.”
“Alaa…”
“Gak papa, aku seneng kau panggil Bung. Terusin, deh.”

Cewek itu tersipu-sipu. 

“Sejak kapan nih brenti nggak nenggak alkohol?”
“Sejak dr Natalie ngasih ultimatum gak boleh nenggak miras.”
“Dokter Natalie?”
“Iya. Mesti inget kan, dokter yang rumahnya di depan persis sekolah kita?” Senyum cowok itu mengembang, sembari menatapnya lekat.
Syane mencoba mengingat-ingat.
“Alaaa…”
“Oh, God. Inget sekali, Bung. Ketika itu sedang latihan basket kenceng banget. Bung pingsan, kita para cewek saling menggotong Bung Arbi di rumah praktek Dokter Natalie.
“Lalu?”
“Lalu, kami ninggalin Bung sendirian di rumah itu. Kami pikir, cowok kayak Bung jadi kikuk diperiksa dokter secantik Natalie. Eh, nyatanya gak. Beberapa menit kemudian, Bung siuman. Kalian malah udah ngobrol asyik di teras rumah.”
“Kok inget sih, Syane? Siapa yang ngajarin memori kamu setajam itu?”
Cewek itu cuma melengos malu. Aroma nafasnya masih seperti dulu, ketika pertama kalinya Arbi berhasil menyergap bibir Syane di bekalang sekolah. Itu terjadi tiga tahun lalu.
“Mo kemana nih, Syane?”
“Pulang.”
“Aku juga. Masih tinggal di Townsville, seperti e-mail terakhirmu dulu?”
“Tiga tahun lebih, segalanya pun berubah drastis.”
“Termasuk kisah-kisah yang kamu tulis di email itu?”
Syane terdiam. Getar-getar keperempuanannya menangkap radar kecurigaan dari Arbi. Bahkan lebih tegas lagi, kini sebuah kecemburuan.
“Pa kabar cowok kamu?”
“Bung Arbi…” pekik lirih Syane tanpa sengaja. Tangannya menutup pucat bibirnya. Tapi Arbi malah nggak selesai menatap mata Syane yang ketakutan.

Malam kian gelisah. Awan berarak perlahan di atas Brisbane. Keduanya masih berjalan, entah kemana. Berjalan dan terus berjalan, tanpa tujuan.

                                                                                        ***

Sembari memandang jam, Arbi nerusin membaca The Courier Mail. Di atas sebuah meja kecil, nongkrong sekaleng Solo Bir dengan beberapa batang cokelat kotak-kotak. Pikirannya menerawang, ia bayangin sebuah perjalanan jauh. Perjalanan hidup yang nggak gampang.

“Arbi…” seorang cewek umur tigabelasan menggelendot di pundaknya.

“Hai, Berry. Belum tidur, sayang?”
“Mau ngobrol sama Arbi. Berry kangen,” katanya merajuk.
Anak ini manis banget di mata Arbi. Sejak berumur sepuluh tahun, bahkan sejak Arbi ngelanjutin studi di Brisbane, cucu pemilik rumah ini lengket banget sama dia. Hingga sekarang Arbi selalu menganggap Berry adik terkecilnya.
“Apa sih asyiknya ngobrol sama mahasiswa.”
Berry masih terus menggelendot di pundak Arbi. Ah, Ber, apa yang terjadi kalo aku gak tinggal di rumah ini? Akankah kudapat sahabat remaja semanis Berry, jika aku tetap tinggal di rumah ortunya Syane? Inilah suara hati Arbi.
“Ngelamun, ya? Teringat kekasih lama? Syane, pasti!”
Sialan neh anak. Tau aja yang dipikirin Arbi.

“Udah malam, Berry. Tidur gih!” Anak itu seolah gak pengin mengganggu terlalu jauh. Berangsur-angsur ia lenyap di balik pintu. Pasti segera tidur di kamar lantai dua, kerajaan kecilnya.

Wajah Arbi kembali tengadah ke atas. Dahinya mengernyit, ketika ditangkapnya wajah Berry nongol lagi di ruangan itu. Giginya menyeringai. Segera ditangkapnya tubuh Berry, mata anak itu seperti menyala. Melentikkan sekian titik api marah yang tiada tara. Tapi bibirnya terkatup. Diam.
“Kenapa jadi serius ‘gini? Ayo, bicara. Adik Arbi mesti berani ngomong apa adanya.”
Suara musik di radio masih menggoda. Yang lain hening, gak sepatah kata pun bersuara. Juga dari bibir bagus Berry.

“Kamu ini gadis cantik. Kamu gak boleh kecewain aku, cerita deh tentang segala persoalan kamu.”

Disambutnya tangan Berry mesra. Dielusnya, sebagaimana kakak mengeluas adiknya. Berkali-kali ia elus pipi Berry, dengan kasih sayang yang tulus tanpa nafsu.
“Mestikah kukatakan padamu saat ini?”
“Kenapa gak? Mungkin malah terlambat, seharusnya udah dari dulu.”
Muka Berry menunduk. Pikiran Arbi pun tambah kisruh. Sebenarnya udah siap sih kalo Berry bicara menyakitkan. Ngeritik Arbi, barangkali. Tapi…
“Seorang mahasiswa Singapura cinta aku. Ketakutanku saat ini, gimana dong cara ngejawabnya? Tolong deh, Arbi.”
“Keputusannya terletak di pertanyaan yang mesti kau jawab sendiri. Kamu cinta dia, gak? Bukan Arbi yang bakal jadi pacar cowok lo itu.”

Tegas banget Arbi menjawab pertanyaan Berry. Setegas ketika beberapa tahun lalu memutus hubungan dengan para cewek yang gak memberi garansi. Meski perasaan Arbi sungguh terbanting. Sebentar lagi pasti bakalan kehilangan Berry. Cewek manis ini akan sering keluar rumah, nonton festival di City Botanic Garden atau main-main di Winter Garden Mall.

“Pernah sangat jatuh cinta gak?”
“Iya, dong.”
“Sama siapa?”
“Sama cewek-cewek, temen kuliah Arbi.”
“Sebelum Syane?”
“Pernah sekali.”
“Setelah Syane?”
“Pinternya anak ini. Jangan bongkar rahasia cowok, dong? Apa salahnya sih mencintai seseorang? Ketika gak sedang memegang komitmen sama cewek lain, gak masalah.”
“O, gak masalah. Itu harapan kami semua di rumah ini.”
“Harapan kalian semua?”
“Mestinya Arbi punya kekasih. Supaya gak kesepian, agar Arbi terhibur. Mau pengin jadi tua?”
Arbi menggeleng.
Suasana kembali hening.
“Siapa dong, Ar?”
Arbi terlongong.
“Siapa cewek yang saat ini Arbi sayangi?”
“Kok ngejarnya kayak polisi?”
“Berry serius, nih. Ayo katakan!”
“Syane,” jawab Arbi pendek.

Tepat di jawaban itu, Berry melepas cekalan tangan Arbi perlahan. Perlahan pula ia menghilang ke ruang lain. Ninggalin Arbi sendirian di sini. Penasaran akan hal itu, Arbi langsung mengejar.
“Berry!! Berry, listening. Kamu berhak menolak, kamu boleh gak setuju. Kamu kuanggap adik di sini. Saudara-saudara kandungku nun jauh di negeri sana.”
“Gak, Ar. Itu hak kamu. Berry pernah melihat kalian jalan-jalan mesra sepanjang Myer Plaza.”
Arbi terdiam. Ditenggaknya kaleng sisa Solo Bir di meja depan. Lantas balik lagi ke arah Berry.
“Syane cewek yang rela tetap sendiri, meski kami berpisah. Sejak tiga tahun lalu ia tinggal di Townsville. Aku juga gak pernah benar-benar mencintai cewek lain setelah dia. Apa salahnya?”
“Menyambung tali cinta yang lama putus, maksudnya?”
“Iya. Apa salahnya?”

Braaaakkkk!! Pintu dibanting paksa. Tubuh Berry telah lenyap di balik pintu.

Di luar sana, teriakan-teriakannya terdengar jelas dari ruangan ini. Dari bibir Mama, Syane menjadi cerita sangat menakutkan di mata Berry. Cewek itulah penyebab renggangnya hubungan kedua orangtuanya. Syane, belakangan menjadi mahasiswinya Papa Berry. Sejak setahun ini, anak itu ngelanjutin kuliah di Brisbane, tempat Papanya Berry mengajar.
Godaan-godaan gila Syane-lah penyebab keretakan ini. Dan Mama tau persis siapa Syane.

Inilah sebabnya, kenapa Berry gak pernah tertarik dengan cerita-cerita Arbi tentang cewek tadi. Seindah apa pun kisah itu diracik. Bagi Arbi, mencintai Syane dengan melempar begitu aja Berry dari kehidupannya, sangat dilematis.

                                                                          ***

“Mesti berpisah, Bung. Gak papa. Telepon Berry dan Mamanya udah kudengar beberapa malam lalu. Nyakitin banget, karena mereka buat aku sebagai sampah. Bung Arbi andil salah, karena Bung nerjemahin rasa kangen kita secara keliru. Selamat tinggal – Syane.”

E-mail itu dibacanya. Hingga dua-tiga kali diulangnya. Gak berubah satu huruf dengan lainnya. Segera ia kemasi pakaian dan cabut dari rumah ini. Tujuannya, mengambil pesawat paling akhir ke Bali. Ia pengin sejenak pergi dari Brisbane. Luka hatinya membawa serta kerinduan Arbi pada dunia jauh yang selama ini ditinggalkannya.

A mom of "Triple-A", enthusiastic for sharing knowledge, feeling, and a passion to create in the Dark Side Office

Post a Comment

Silahkan tambahkan komentar sesuai dengan topik, komentar yang disertai link akan dihapus.Terimakasih
Post a Comment
© Fatshaf Moonlight. All rights reserved. Developed by Jago Desain